1. 2.

01 April 2011

Pungut BPHTB Tanpa Perda, Penyalahgunaan Wewenang


JAKARTA - Bagai mendapat durian runtuh. Inilah tamsil yang pas bagi pemerintah daerah tingkat II (pemda kabupaten/kota). Mulai 1 Januari 2011, pemerintah pusat memberikan kewenangan penuh kepada pemda untuk memungut Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Hanya saja belum semua pemda siap dengan perda sebagai dasar untuk memungut pajak BPHTB.

Setidaknya ada 407 peraturan daerah (perda) bermasalah yang ditemukan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pun cukup tanggap dan segera menyurati seluruh kepala daerah agar mencabut perda-perda tersebut. Hal ini dibenarkan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Diah Anggraeni, yang mengatakan bahwa perda tersebut terkait pajak dan retribusi daerah. Beberapa di antaranya dinilai menghambat investasi.

Sampai tahun 2009 Kementerian Dalam Negeri telah membatalkan 1.878 peraturan daerah. Sejak 2010, kewenangan pembatalan peraturan daerah tersebut berada di tangan presiden. Pembatalan perda tersebut termuat dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2011. Bahkan untuk daerah-daerah yang telah memunggut pajak sebelum adanya perda yang mengatur hal itu, dana tersebut harus dikembalikan, tambah Diah Tentu pemda tak bisa asal pungut.

Menurut Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) Mochamad Tjiptardjo, pemda harus memiliki payung hukum pemungutan BPHTB berupa peraturan daerah atau perda. Selain itu, pemda juga harus menyiapkan sumber daya manusia dan prosedur pemungutan BPHTB. Ada tiga alasan mengapa pemda belum memiliki perda BPHTB. Pertama, potensi BPHTB di daerah tersebut kecil. Kedua, Raperda BPHTB tak masuk program legislasi daerah. Ketiga, ada kemungkinan hubungan eksekutif dan legislatif di daerah tersebut tidak harmonis. Sehingga, informasi mengenai pentingnya potensi BPHTB antara keduanya tidak selaras.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan, sampai saat ini 70,1 persen Pemerintah Daerah di Indonesia sudah memungut Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). “Sebanyak 70,1 persen atau 345 pemda dari 492 pemda sudah memiliki peraturan daerah sebagai dasar pemungutan BPHTB,” kata Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu, Marwanto Harjowirjono di Jakarta.

Menurut dia, berdasar realisasi penerimaan BPHTB pada 2009, penerimaan BPHTB di 345 daerah itu mencakup 93,5 persen atau Rp5,98 triliun dari total penerimaan sebesar Rp6,35 triliun. Sementara itu, sebanyak 109 pemda atau 22,2 persen masih dalam proses penyusunan perda pemungutan BPHTB. Berdasar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB, daerah tidak mendapat 100 persen penerimaan pajak ini. Pemerintah pusat membagikan 20 persen penerimaan BPHTB secara merata ke seluruh pemda, lalu 16 persen untuk provinsi dan kabupaten/kota tempat dipungutnya BPHTB.
Kini, 100 persen duit BPHTB menjadi hak pemerintah daerah yang menjadi lokasi transaksi properti. Saat ini, perolehan BPHTB terbesar masih berada di kota-kota besar di Indonesia. Sebagai gambaran, pada 2009, realisasi penerimaan BPHTB di Jakarta mencapai Rp 1,88 triliun. Berada di posisi berikutnya ada kabupaten/kota di sekitar Jakarta, seperti Tangerang, Bogor, Depok; dan disusul kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Bandung, Semarang, dan Medan.

Sebenarnya, menurut Nurmadjito, mantan staf ahli hukum Menteri Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Undang-Undang No 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, menetapkan sanksi (pasal 159) bagi pemerintah kabupaten/kota yang tidak melaksanakan undang-undang dengan sanksi berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi dan tata caranya diatur Menteri Keuangan. Hanya saja, jelas Nurmadjito, atas perbuatan pemerintah yang melaksanakan kegiatan tanpa memiliki landasan hukum, dalam literatur hukum administrasi Indonesia tidak dijumpai, karena pemikir hukum itu sendiri sepertinya tidak terpikir adanya suatu perbuatan pemerintah yang tanpa didasari oleh hukum.

Dalam kasus perbuatan pemerintah ini sebetulnya sudah ada undang-undangnya dan sudah dinormakan bahwa pemungutan BPHTB harus dilandasi dengan peraturan daerah. Perbuatan pemerintah karena kebijaksanaan itu dalam literatur hukum disebut dengan fries emerssen, yaitu kebebasan diberikan kepada pemerintah karena keterbatasan hukum atau keterlambatan hukum mengimbangi dinamika masyarakat.

Dalam kasus ini, sudah jelas dan tegas bahwa pemerintah diberi waktu 2 (dua) tahun untuk mempersiapkan peraturan daerah, dan saat tidak selesai membuat peraturan daerah telah memaksakan dengan tetap memungut tanpa alas hukum peraturan daerah. “Jadi jika pemda memungut BPHTB sebelum memiliki peraturan daerah, dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan yang menyalahgunakan wewenang,” jelas Nurmadjito.

Hal ini harus dibedakan dengan perbuatan melawan hukum, karena perbuatan melawan hukum telah ada yurisprudensi dari Mahkamah Agung dalam putusan No. 838/K/Sip/1970. Putusan itu menunjukkan bahwa adanya perbuatan melawan hukum, harus dipenuhi dua kriteria, yaitu: ( a) perbuatan penguasa melanggar undang-undang dan atau peraturan formal yang berlaku dan (b) perbuatan penguasa melanggar kepentingan dalam masyarakat yang seharusnya dipatuhinya. Lalu apakah masyarakat bias meminta gant rugi jika ada penyalahgunaan wewengan oleh pemda.

Menurut Nurmadjito, permintaan ganti rugi tersebut dapat dilakukan melalui mekanisme ombudsman. Karena sejak berlakunya Undang-undang No 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia dibuka ruang bagi publik untuk menuntut ganti rugi melalui lembaga ombudsman. Pembukaan ruang tersebut diatur lebih rinci dalam Undang-undang No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Puboik. Undang-undang Pelayanan publik secara rinci memberikan pengaturan (a) mengenai mekanisme tuntutan bagi penyelenggara yang melakukan perbuatan melawan hukum ; (b) mengatur penyelesaian ganti rugi yang dilakukan oleh Ombudsman baik melalui mediasi, konsiliasi atau adjudikasi khusus.

Demikian pula undang-undang pelayanan Publik mewajibkan kepada pemerintah untuk membuat anggaran guna membayar ganti rugi. Hal yang terakhir ini, jelas Nurmadjito, disebut dengan responbility government, mencakup suatu pertanggungjawaban yang menjadi beban pemerintah memenuhi kewajiban atau bertanggungjawab, baik dari sisi personal maupun publik. Istilah ini menunjukan bahwa pertanggungjawaban dapat dibebankan kepada penyelenggara pemerintahan yang harus mengundurkan diri apabila terjadi penolakan terhadap kinerjanya, dan dalam perspektif peraturan perunrang-undangan di lembaga legislatif dapat dilakukan dengan melakukan mosi tidak percaya.(jay)

Staff Redaksi

Hendrik S (Polda Metro Jaya) (Jaksel) Robin S (Jaktim) Ramdani BE (Jakpus) (Jakut) Biro Bekasi :Sepmi R (Kabiro) , Joni Sitanggang, Binton Juntak, Mustofa, Ringan Simbolon, Haerudin, Herman Sitanggang, Mulayadi TH, Togar S, Banjarnahor, Syafi'i M, Biro Kab.Bogor :(Kabiro) Depok : Radot S, (Kabiro), Karawang : Ade Junaidi (Kabiro), Rihas Purnama YM, Edi Askam, Mustamir, Otong, Wawan, Junaedi, Sopyan Junior, Mumuh MuhamadMursid. Perwkln Jabar: Idris C.Pasaribu (Ka Prwkl), Ungkap M, Deni Ridwan, Parasman. Biro Cimahi : Martunas S. Prwkln Lampung : (Ka.Prwkln) Kab Tanggamus : (Ka.Prwkl), Biro Tanjabbar :Hasbullah, Biro Kab/Kota Siantar : Buhardo Siahaan.Sulselbar : Fadly Syarif